Rabu, 29 Oktober 2008

shalat adalah kontrol sosial

Shalat adalah Kontrol Sosial
15/07/2008

Shalat adalah Kontrol Sosial

Oleh : KH. Syaifuddin

أََلْحَمْدُ لِلّهِ أََلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِيْ أَفْضَلَنَا بِالصَّلاَةِ وَيَأْمُرُنَا بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَالطَّاعَةِ ، وَالَّذِيْ نَسْتَهِْدِيْ فِيْ كُلِّ اْلأُمُوْرِ وَالْمَظْلَمَةِ ، أَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ، يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَيُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ، وَمَنْ يُصَدِّقِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحِسَانِ إِلَى يَوْمِ الْمِيْعَادِ

أَمَّا بَعْدُ : فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ ، وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ : سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ ، وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ

Hadirin Sidang Jum’at yang Dimuliakan oleh Allah

Marilah pada hari yang cerah ini, kita bersama-sama meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Karena hanya dengan taqwalah kita dapat selamat menjalani kehidupan dunia dan akhirat.

Adapun salah satu di antara tanda terpenting bagi ketaqwaan kita adalah shalat kita. Apakah kita sudah rajin shalat sesuai yang diperintahkan? Yakni di awal waktu. Apakah kita sudah melaksanakan shalat-shalat sunnah sebagai penyempurna bagi kekurangan-kekurangan kita ketika mendirikan shalat fardhu?

Lalu bagaimanakah kita mesti mengerti apakah yang dimaksudkan sebagai shalat? Secara etimologi shalat adalah doa, secara umum. Sedangkan secara istilah syariat, shalat adalah suatu ibadah yang terdiri dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan tertentu sesuai sarat dan rukun yang dimulai dengan Takbiratul Ihram dan disudahi dengan Salam. Tata caranya adalah sesuai yang dituturkan oleh para Sahabat yang melihat Rasulullah sewaktu sedang shalat.

Turun-temurun hingga sekarang, maka begitulah kita dapat melihat orang-orang mendirikan shalat. Demikian pula kita mendirikan shalat sesuai ajaran yang kita yakini kesahihannya hingga saat ini. Hal ini telah sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang kami bacakan di awal tadi, yang artinya adalah ”Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melaksanakan/mempraktikkannya.” (HR Bukhari-Muslim)

Menurut sejarahnya, perintah shalat diterima oleh Rasululah SAW ketika menunaikan Isra’ mi’raj. Bahwa Nabi Muhammad naik menuju Sidratul Muntaha dan bertemu secara langsung (yaqodhoh) dengan Allah SWT. Pada saat inilah Rasulullah mendapat perintah baginya beserta seluruh ummat yang mempercayai keterutusannya, berupa shalat 50 kali sehari yang kemudian dikurangkan hingga lima kali.

Pewahyuannya yang secara langsung ini menjadikan shalat diyakini oleh para ulama sebagai sebuah ibadah yang memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu. Shalat adalah ibadah yang pertama kali akan ditimbang kelak dihari pembalasan. Jika seorang hamba baik shalatnya maka tentu menjadi baik pulalah seluruh amal perbuatannya. Sebaliknya, jika seorang hamba jelek shalatnya, maka berarti buruk pulalah seluruh hidupnya.

Hadirin Sidang Jum’at yang Berbahagia

Tentu urusan baik dan buruk ibadah shalat seseorang kemudian bukan hanya ditentukan oleh rajin dan tidaknya ia pergi ke Masjid. Melainkan juga menghitung khusyuk ataukah tidaknya, ikhlas atau pamernya seorang hamba ketika sedang menghadap Sang Pencipta alam semesta ini setiap waktunya. Sebagaimana firman Allah,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

"Telah beruntunglah orang-orang mukmin, yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya." (QS. Al-Mu'minun, 23:1-2)

Bukan hanya di akhirat Allah menjanjikan kebahagiaan bagi hambanya yang mendirikan shalat dengan segenap jiwa dan raganya. Semenjak di dunia pun Allah telah memberi kabar gembira kepada umat Islam, sebagaimana firman Allah:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…" (QS. al-A'raf, 7:96)

Meskipun ketaqwaan tidak dapat hanya diukur dari sisi lahiriah berupa shalat saja, namun shalat jelas-jelas merupakan pintu masuk bagi setiap Muslim untuk memulai pengabdian kepada Allah dan Rasulullah.

Hadirin Jamaah Jum’at Rahimakumullah

Shalat merupakan sebesar-besarnya tanda iman dan seagung-agungnya syiar agama. Shalat merupakan tanda syukur para hamba atas nikmat yang telah dikaruniakan Allah.

Peristiwa Isra’ mi’raj merupakan bukti bahwa Shalat merupakan simpul terpenting dalam tatanan Islam, baik bagi setiap individu maupun masyarakat, dalam skala yang terkecil hingga level bangsa. Sebegitu pentingnya, maka layaklah Allah mewahyukannya langsung kepada Rasulullah tanpa melalui perantara.

Shalat mempunyai kedudukan yang tak dapat ditandingi oleh ibadah-ibadah yang lain. Ada banyak kutipan ayat-ayat al-Qur'an mengenai keutamaan Shalat. Beberapa di antaranya adalah :

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

"Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya." (QS. Thaha, 20:132)

Shalat sangat bermanfaat bagi kehidupan umat Islam, baik secara individual maupun secara kemasyarakatan. Dalam hal ini Allah menjanjikan bahwa Shalat dapat menjauhkan manusia dari perbuatan-perbuatan yang tidak manusiawi. Firman Allah :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

"Dan dirikanlah shalat, karena sesungguhnya Shalat dapat mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar" (QS. Al-Ankabut, 29:45)

Ayat ini merupakan peringatan dari Allah bahwa shalat merupakan elemen terpenting dalam pembentukan pribadi Muslim. Termasuk dalam pembentukan karakter bangsa.

Jika saja seluruh penduduk bangsa rajin melaksanakan Shalat dengan semestinya, tentu Allah akan mencurahkan karunianya kepada kita. Bukan besar kecil atau indah dan gemerlapnya sebuah masjid yang menjadi tolok ukur religiusitas sebuah masyarakat, melainkan banyak atau sedikitnya jamaah yang mendirikan shalat ketika waktu-waktu adzan dikumandangkan.

Sementara Shalat sebagai sebuah keharusan bagi setiap individu Muslim merupakan salah satu pertanda paling mudah dijadikan standar untuk mengukur sejauh mana seseorang memiliki ketaqwaan kepada Allah. Pribadi yang bertaqwa adalah pribadi yang senantiasa hatinya terikat dengan batas-batas waktu Shalat.

Meskipun memang Shalat tidak secara mutlak menunjukkan tingkat ketaqwaan seseorang. Setidaknya Shalat dapat memberikan sebuah perenungan intens dan continue kepada setiap pribadi Muslim dalam keseharian. Ketika seorang Muslim sedang berada dalam posisi yang mengakibatkan ia memiliki kecenderungan atau peluang lebih besar untuk berbuat dosa, maka ia akan dapat mengingat shalatnya. Buat apakah rajin-rajin Shalat jika masih selalu menjalankan kebiasaan buruk misalnya.

Sidang Jum’at yang Dimuliakan Allah

Tentu saja dalam hal ini, shalat adalah sebuah sarana spiritual yang cukup penting untuk meredam kekejian atau kemungkaran yang akan dijalaninya. Shalat dapat berfungsi sebagai kontrol diri setiap saat bagi setiap perilaku individu muslim.

Maka demikian pun shalat dapat berfungsi sebagai kontrol sosiologi masyarakat. Jika sebuah komunitas masyarakat memiliki Masjid yang selalu penuh oleh Jamaah di setiap waktu-waktu shalat, tentu ini mencerminkan kondisi lingkungan yang religius. Biasanya secara otomastis, kegiatan-kegiatan massal yang berbau kemungkaran akan berkurang.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan lingkungan masyarakat yang Masjidnya-masjidnya hanya penuh ketika hari raya saja. Tentu kegiatan-kegiatan yang bersifat foya-foya lebih sering diselenggarakan dalam masyarakat. Dari sini shalat dapat kita jadikan sebuah pola dalam memperjuangkan peningkatan moral masyarakat.

Memakmurkan Masjid dengan shalat berjamaah merupakan program yang efektif untuk meredam gejolak negatif masyarakat. Jika kita mampu memakmurkan masjid dengan shalat berjamaah, kedamaian dan linkungan kondusif pasti terkondisikan dengan sendirinya.

Maka marilah kita bersama-sama meningkatkan ketaqwaan dan membangun masyarakat yang islami dan bermoral mulia, berakhlakul karimah dan berkerukunan serta berkesatuan melalui penggalakan shalat berjamaah di masjid-masjid, musholla-musholla maupun di kantor dan di mana pun tempat yang selayaknya kita mengagungkan Asma Allah. Marilah bersama-sama kita tegakkan agama Allah, agar beroleh keselamatan dan kesejahteraan di sepanjang usia umat manusia.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِيِمْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Baca selengkapnya!

shalat adalah kontrol sosial

Shalat adalah Kontrol Sosial
15/07/2008

Shalat adalah Kontrol Sosial

Oleh : KH. Syaifuddin

أََلْحَمْدُ لِلّهِ أََلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِيْ أَفْضَلَنَا بِالصَّلاَةِ وَيَأْمُرُنَا بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَالطَّاعَةِ ، وَالَّذِيْ نَسْتَهِْدِيْ فِيْ كُلِّ اْلأُمُوْرِ وَالْمَظْلَمَةِ ، أَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ، يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَيُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ، وَمَنْ يُصَدِّقِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحِسَانِ إِلَى يَوْمِ الْمِيْعَادِ

أَمَّا بَعْدُ : فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ ، وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ : سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ ، وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ

Hadirin Sidang Jum’at yang Dimuliakan oleh Allah

Marilah pada hari yang cerah ini, kita bersama-sama meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Karena hanya dengan taqwalah kita dapat selamat menjalani kehidupan dunia dan akhirat.

Adapun salah satu di antara tanda terpenting bagi ketaqwaan kita adalah shalat kita. Apakah kita sudah rajin shalat sesuai yang diperintahkan? Yakni di awal waktu. Apakah kita sudah melaksanakan shalat-shalat sunnah sebagai penyempurna bagi kekurangan-kekurangan kita ketika mendirikan shalat fardhu?

Lalu bagaimanakah kita mesti mengerti apakah yang dimaksudkan sebagai shalat? Secara etimologi shalat adalah doa, secara umum. Sedangkan secara istilah syariat, shalat adalah suatu ibadah yang terdiri dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan tertentu sesuai sarat dan rukun yang dimulai dengan Takbiratul Ihram dan disudahi dengan Salam. Tata caranya adalah sesuai yang dituturkan oleh para Sahabat yang melihat Rasulullah sewaktu sedang shalat.

Turun-temurun hingga sekarang, maka begitulah kita dapat melihat orang-orang mendirikan shalat. Demikian pula kita mendirikan shalat sesuai ajaran yang kita yakini kesahihannya hingga saat ini. Hal ini telah sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang kami bacakan di awal tadi, yang artinya adalah ”Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melaksanakan/mempraktikkannya.” (HR Bukhari-Muslim)

Menurut sejarahnya, perintah shalat diterima oleh Rasululah SAW ketika menunaikan Isra’ mi’raj. Bahwa Nabi Muhammad naik menuju Sidratul Muntaha dan bertemu secara langsung (yaqodhoh) dengan Allah SWT. Pada saat inilah Rasulullah mendapat perintah baginya beserta seluruh ummat yang mempercayai keterutusannya, berupa shalat 50 kali sehari yang kemudian dikurangkan hingga lima kali.

Pewahyuannya yang secara langsung ini menjadikan shalat diyakini oleh para ulama sebagai sebuah ibadah yang memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu. Shalat adalah ibadah yang pertama kali akan ditimbang kelak dihari pembalasan. Jika seorang hamba baik shalatnya maka tentu menjadi baik pulalah seluruh amal perbuatannya. Sebaliknya, jika seorang hamba jelek shalatnya, maka berarti buruk pulalah seluruh hidupnya.

Hadirin Sidang Jum’at yang Berbahagia

Tentu urusan baik dan buruk ibadah shalat seseorang kemudian bukan hanya ditentukan oleh rajin dan tidaknya ia pergi ke Masjid. Melainkan juga menghitung khusyuk ataukah tidaknya, ikhlas atau pamernya seorang hamba ketika sedang menghadap Sang Pencipta alam semesta ini setiap waktunya. Sebagaimana firman Allah,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

"Telah beruntunglah orang-orang mukmin, yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya." (QS. Al-Mu'minun, 23:1-2)

Bukan hanya di akhirat Allah menjanjikan kebahagiaan bagi hambanya yang mendirikan shalat dengan segenap jiwa dan raganya. Semenjak di dunia pun Allah telah memberi kabar gembira kepada umat Islam, sebagaimana firman Allah:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…" (QS. al-A'raf, 7:96)

Meskipun ketaqwaan tidak dapat hanya diukur dari sisi lahiriah berupa shalat saja, namun shalat jelas-jelas merupakan pintu masuk bagi setiap Muslim untuk memulai pengabdian kepada Allah dan Rasulullah.

Hadirin Jamaah Jum’at Rahimakumullah

Shalat merupakan sebesar-besarnya tanda iman dan seagung-agungnya syiar agama. Shalat merupakan tanda syukur para hamba atas nikmat yang telah dikaruniakan Allah.

Peristiwa Isra’ mi’raj merupakan bukti bahwa Shalat merupakan simpul terpenting dalam tatanan Islam, baik bagi setiap individu maupun masyarakat, dalam skala yang terkecil hingga level bangsa. Sebegitu pentingnya, maka layaklah Allah mewahyukannya langsung kepada Rasulullah tanpa melalui perantara.

Shalat mempunyai kedudukan yang tak dapat ditandingi oleh ibadah-ibadah yang lain. Ada banyak kutipan ayat-ayat al-Qur'an mengenai keutamaan Shalat. Beberapa di antaranya adalah :

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

"Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya." (QS. Thaha, 20:132)

Shalat sangat bermanfaat bagi kehidupan umat Islam, baik secara individual maupun secara kemasyarakatan. Dalam hal ini Allah menjanjikan bahwa Shalat dapat menjauhkan manusia dari perbuatan-perbuatan yang tidak manusiawi. Firman Allah :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

"Dan dirikanlah shalat, karena sesungguhnya Shalat dapat mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar" (QS. Al-Ankabut, 29:45)

Ayat ini merupakan peringatan dari Allah bahwa shalat merupakan elemen terpenting dalam pembentukan pribadi Muslim. Termasuk dalam pembentukan karakter bangsa.

Jika saja seluruh penduduk bangsa rajin melaksanakan Shalat dengan semestinya, tentu Allah akan mencurahkan karunianya kepada kita. Bukan besar kecil atau indah dan gemerlapnya sebuah masjid yang menjadi tolok ukur religiusitas sebuah masyarakat, melainkan banyak atau sedikitnya jamaah yang mendirikan shalat ketika waktu-waktu adzan dikumandangkan.

Sementara Shalat sebagai sebuah keharusan bagi setiap individu Muslim merupakan salah satu pertanda paling mudah dijadikan standar untuk mengukur sejauh mana seseorang memiliki ketaqwaan kepada Allah. Pribadi yang bertaqwa adalah pribadi yang senantiasa hatinya terikat dengan batas-batas waktu Shalat.

Meskipun memang Shalat tidak secara mutlak menunjukkan tingkat ketaqwaan seseorang. Setidaknya Shalat dapat memberikan sebuah perenungan intens dan continue kepada setiap pribadi Muslim dalam keseharian. Ketika seorang Muslim sedang berada dalam posisi yang mengakibatkan ia memiliki kecenderungan atau peluang lebih besar untuk berbuat dosa, maka ia akan dapat mengingat shalatnya. Buat apakah rajin-rajin Shalat jika masih selalu menjalankan kebiasaan buruk misalnya.

Sidang Jum’at yang Dimuliakan Allah

Tentu saja dalam hal ini, shalat adalah sebuah sarana spiritual yang cukup penting untuk meredam kekejian atau kemungkaran yang akan dijalaninya. Shalat dapat berfungsi sebagai kontrol diri setiap saat bagi setiap perilaku individu muslim.

Maka demikian pun shalat dapat berfungsi sebagai kontrol sosiologi masyarakat. Jika sebuah komunitas masyarakat memiliki Masjid yang selalu penuh oleh Jamaah di setiap waktu-waktu shalat, tentu ini mencerminkan kondisi lingkungan yang religius. Biasanya secara otomastis, kegiatan-kegiatan massal yang berbau kemungkaran akan berkurang.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan lingkungan masyarakat yang Masjidnya-masjidnya hanya penuh ketika hari raya saja. Tentu kegiatan-kegiatan yang bersifat foya-foya lebih sering diselenggarakan dalam masyarakat. Dari sini shalat dapat kita jadikan sebuah pola dalam memperjuangkan peningkatan moral masyarakat.

Memakmurkan Masjid dengan shalat berjamaah merupakan program yang efektif untuk meredam gejolak negatif masyarakat. Jika kita mampu memakmurkan masjid dengan shalat berjamaah, kedamaian dan linkungan kondusif pasti terkondisikan dengan sendirinya.

Maka marilah kita bersama-sama meningkatkan ketaqwaan dan membangun masyarakat yang islami dan bermoral mulia, berakhlakul karimah dan berkerukunan serta berkesatuan melalui penggalakan shalat berjamaah di masjid-masjid, musholla-musholla maupun di kantor dan di mana pun tempat yang selayaknya kita mengagungkan Asma Allah. Marilah bersama-sama kita tegakkan agama Allah, agar beroleh keselamatan dan kesejahteraan di sepanjang usia umat manusia.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِيِمْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Baca selengkapnya!

khutbah idul fitri 1429 H

KHUTBAH IDUL FITRI
Mengurai Makna Fitrah di Tengah Arus Perubahan dan Dinamika Kehidupan
30/09/2008

Oleh : H. Khoirul Huda Basyir, Lc, M,Si

Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Majelis Ulama Indosesia, Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia dan Pegawai Departemen Agama RI.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ 3 X لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَالله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد ، الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِْعمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ الَّذِيْ هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أنْ هَدَانَا الله ُ ، أشْهَدُ أنْ لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الَّذِيُ خَصَّنَا بِخَيْرِ كِتَابٍ أُنْزِلَ وَأَكْرَمَنَا بِخَيْرِ نَبِىٍّ أُرْسِلَ وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النٍّعْمَةَ بِأَعْظَمِ دِيْنِ شَرْعٍ دِيْنِ اْلإسْلاَمِ ، أليَوْمَ أكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإسْلَمَ دِيْنًا ، وَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَتَرَكَنَا عَلىَ اْلمَحَجَّةِ اْلبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا ، لاَيَزِيْغُ عَنْهَا إلاَّ هَالِكٌ, أللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ الطَّاهِرِيْنِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . أمَّا بَعْدُ,

فَيَا عِبَادَ اللهِ ! اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ, وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ, قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ : وَلِتُكْمِلُوْا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ :

Hadirin sidang Jamaah Idul Fitri yang Dimuliakan Allah
Dalam suasana pagi hari yang khidmat berselimut rahmat dan kebahagiaan ini, marilah kita senantiasa memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala curahan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita semua, sehingga di pagi hari yang cerah ini kita dapat menunaikan sholat ‘dul Fitri dengan khusyu’ dan tertib.

Hari ini, takbir dan tahmid berkumandang di seluruh penjuru dunia, mengagungkan asma Allah SWT. Gema takbir yang disuarakan oleh lebih dari satu setengah milyar umat manusia di muka bumi ini, menyeruak di setiap sudut kehidupan, di masjid, di lapangan, di surau, di kampung-kampung, di gunung-gunung, di pasar, dan di seluruh pelosok negeri umat Islam.

Pekik suara takbir itu juga kita bangkitkan disini, di bumi tempat kita bersujud dan bersimpuh ke hadirat-Nya. Iramanya memenuhi ruang antara langit dan bumi, disambut riuh rendah suara malaikat nan khusyu’ dalam penghambaan diri mereka kepada Allah SWT. Getarkan qalbu (hati) mukmin yang tengah dzikrullah, penuh mahabbah, penuh ridha, penuh roja’ (pengharapan) akan hari perjumpaannya dengan Sang Khaliq, Dzat yang mencipta jagat raya dengan segala isinya.

Kumandang takbir dan tahmid itu sesungguhnya adalah wujud kemenangan dan rasa syukur kaum muslimin kepada Allah SWTatas keberhasilannya meraih fitrah (kesucian diri) melalui mujahadah (perjuangan lahir dan batin) dan pelaksanaan amal ibadah selama bulan suci Ramadhan yang baru berlalu. Allah SWT menegaskan :


وَلِتُكْمِلُوْا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu semoga kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. al-Baqoroh : 185)

Islam sesungguhnya telah mengajarkan takbir kepada umatnya, agar ia senantiasa mengagungkan asma Allah SWT kapanpun dan di manapun, saat adzan kita kumandangkan takbir, saat iqamah kita lafalkan takbir, saat membuka shalat kita ucapkan takbir, saat bayi lahir kita perdengarkan kalimat takbir, saat menyembelih hewan kita baca takbir, bahkan saat di medan laga perjuangan, kita juga mengumandangkan suara takbir.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Dalam suasana kemenangan ini, marilah kita menghayati kembali makna kefitrahan kita, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifatullah fil ardli. Idul Fitri yang dimaknai kembali kepada kesucian ruhani,’ atau ‘kembali ke asal kejadian manusia yang suci, atau ‘kembali ke agama yang benar’, sesungguhnya mengisyaratkan, bahwa setiap orang yang merayakan Idul fitri berarti dia sedang merayakan kesucian ruhaninya, mengurai asal kejadiannya dan menikmati sikap keberagamaan yang benar, keberagamaan yang diridlai Allah swt.

Di sinilah sesungguhnya letak keagungan dan kebesaran hari raya Idul fitri, Hari di mana para hamba Allah merayakan keberhasilannya mengembalikan kesucian diri dari segala dosa dan khilaf melalui pelaksanaan amal shaleh dan ibadah puasa Ramadhan, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan dilaksanakan dengan benar, maka ia diampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (HR. Imam Muslim).

Namun patut diingat, bahwa dosa atau kekhilafan antar sesama umat manusia, ia baru terampuni apabila mereka saling memaafkan, dan karena itulah, mari kita jadikan momentum Idul Fitri yang suci ini untuk saling meminta dan memberi maaf atas segala kesalahan antar sesama, kita buang perasaan dendam, kita sirnakan keangkuhan dan kita ganti dengan pintu maaf dan senyum sapa yang tulus penuh dengan persaudaraan dan kehangatan silaturrahim antar sesama.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد


Namun patut diingat, bahwa dosa atau kekhilafan antar sesama umat manusia, ia baru terampuni apabila mereka saling memaafkan, dan karena itulah, mari kita jadikan momentum Idul Fitri yang suci ini untuk saling meminta dan memberi maaf atas segala kesalahan antar sesama, kita buang perasaan dendam, kita sirnakan keangkuhan dan kita ganti dengan pintu maaf dan senyum sapa yang tulus penuh dengan persaudaraan dan kehangatan silaturrahim antar sesama.

Terkait dengan kemuliaan orang yang mampu mensucikan dirinya ini, Allah SWT menggambarkan dalam firman-Nya, Surat Al-Fathir, ayat 18-21 :

وَمَنْ تَزَكَّى فَإنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ وَإلَى اللهِ الْمَصِيْرُ (18) وَمَا يَسْتَوِيْ اْلأَعْمَى وَاْلبَصِيْرُ (19) وَلاَ الظُّلُمَاتُ وَلاَ النُّوْرُ (20) وَلاَ الظِّلُّ وَلاَ اْلحَرُوْرُ (21).

“Barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya dia telah mensucikan diri untuk memperoleh kebahagiaannya sendiri. Dan hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu. Bukankah tidak sama orang yang buta dengan orang yang melihat ? Bukankah pula tidak sama gelap-gulita dengan terang-benderang ? Dan bukankah juga tidak sama yang teduh dengan yang panas ?” (QS. al-Fathir : 18-21)

Pada ayat tersebut, Allah SWT membandingkan antara orang yang mampu mensucikan jiwanya dengan yang suka mengotorinya, laksana orang yang melihat dengan orang yang buta, laksana terang dan gelap, laksana teduh dan panas. Sungguh sebuah metafora yang patut kita renungkan. Allah seolah hendak menyatakan bahwa manusia yang suci, manusia yang baik, manusia yang menang dan beruntung itu, adalah mereka yang mau dan mampu melihat persoalan lingkungannya secara bijak dan kemudian bersedia menyelesaikannya, mereka yang mampu menjadi lentera di kala gelap, dan menjadi payung berteduh di kala panas. Mereka inilah pemilik agama yang benar, agama yang hanifiyyah wa al-samhah – terbuka, toleran, pemaaf, dan santun. Inilah agama tauhid, agama Nabi Ibrahim dan anak keturunannya : Ismail, Ishaq, Ya’kub, Yusuf, dan Nabi Muhammad saw.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Idul Fitri pada hakikatnya memberikan pesan kepada kita, bahwa syari’at Islam mengajarkan kepada kesucian, keindahan, kebersamaan dan mengarahkan umatnya memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, rukun dalam kebersamaan dan bersama dalam kerukunan. Segala kelebihan yang melekat dalam diri manusia dalam bentuk apapun, hendaknya disadari bahwa selain merupakan nikmat, ia juga sekaligus sebagai amanat.

Perbuatan yang indah akan melahirkan seni dan estetika, dan seni akan menghasilkan kreatifitas yang membangun dan menyejukkan. Perbuatan baik akan menimbulkan etika dan menciptakan tatanan kehidupan yang tertib dan harmonis, sementara kebenaran akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang mengantarkan kemajuan peradaban umat manusia. Karenanya perubahan ke arah yang lebih baik hanya akan dapat diwujudkan oleh pribadi-pribadi yang dalam dirinya telah bersemi ke-Fitrah-an.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Oleh karena Fitrah manusia dapat berubah dari waktu ke waktu berubah karena pergaulan, karena pengaruh budaya dan lingkungan, karena latar belakang pendidikan dan karena faktor-faktor lain, maka agar Fitrah itu tetap terpelihara kesuciannya, hendaknya ia selalu mengacu pada pola kehidupan islami yang berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunnah dan teladan para ulama, pola kehidupan yang bersendikan nilai-nilai agama dan akhlak mulia, sehingga darinya diharapkan mampu membangun manusia seutuhnya, insan kamil yang memiliki keteguhan iman, keluasan ilmu pengetahuan serta tangguh menjawab berbagai peluang dan tantangan kehidupan.

Karena itu, segala kebiasaan baik yang telah kita lakukan di bulan suci Ramadhan, baik ibadah shiyam, qiyamullail, tilawah dan tadabbur Al-Quran, peduli kaum dluafa, mengendalikan amarah dan hawa nafsu, menjaga kejujuran hendaknya tetap kita lestarikan dan bahkan kita tingkatkan sedemikian rupa agar dapat menjadi tradisi yang mulia dalam diri, keluarga dan lingkungan masyarakat kita, sehingga Fitrah yang telah kita raih di hari yang agung ini akan tetap terpelihara hingga ahir kehidupan kita. Marilah kita jadikan spirit ibadah puasa sebagai perisai diri kita dari godaan dan ujian kehidupan di masa-masa mendatang.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Hadirin sidang Jamaah Idul Fitri yang Berbahagia
Ibadah shaum pada hakekatnya merupakan suatu proses penempaan dan pencerahan diri, yakni upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mengubah perilaku setiap Muslim, menjadi orang yang semakin meningkat ketakwaannya. Melalui ibadah shaum -sebagai manusia yang memiliki nafsu dan cenderung ingin selalu mengikuti hawa nafsu- kita dilatih untuk mengendalikan diri supaya menjadi manusia yang dapat berprilaku sesuai dengan Fitrah aslinya. Fitrah asli manusia adalah cenderung taat dan mengikuti ketentuan Allah SWT. Melalui proses pencerahan yang terkandung dalam ibadah shaum diharapkan setiap muslim menjadi manusia yang di mana pun kehadirannya, terutama dalam masyarakat yang bersifat plural ini dapat memberi manfaat kepada sesama.

Risalah Islam sesungguhnya bukan hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja, tetapi ajarannya juga syarat dengan nilai-nilai yang bersifat universal. Seperti ajaran yang menekankan pentingnya setiap muslim agar mau dan mampu memberi manfaat kepada sesama. Dalam pandangan Islam, salah satu indikator kualitas kepribadian seseorang adalah seberapa besar kehadirannya mampu memberi manfaat kepada sesama, atau dalam bahasa lain semakin besar kemampuan seseorang memberikan manfaat kepada orang lain, maka semakin unggul pula kualitas keberagamaannya. Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ : خَيْرُ النَّاسِ أنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Artinya “Sebaik-baik manusia (Muslim) adalah orang yang paling (banyak) memberi manfaat kepada manusia”. (HR. Al-Qudla’i)

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Hal lain yang perlu kita sadari dalam mengarungi samudera kehidupan ini adalah, bahwa telah menjadi sunnatullaah bila kehidupan ini diwarnai dengan susah dan senang, tangis dan tawa, rahmat dan bencana, menang dan kalah, peluang dan tantangan yang acap kali menghiasi dinamika kehidupan kita. Orang bijak sering menyatakan, “hidup ini laksana roda berputar”, sekali waktu bertengger di atas, pada waktu lain tergilas di bawah. Kemarin sebagai pejabat sekarang kembali menjadi rakyat, satu saat kaya, saat yang lain hidup sengsara, kemarin sehat bugar, saat ini berbaring sakit, bahkan mungkin tetangga kita, saudara kita, orang tua kita, suami/istri kita, anak-anak kita tahun kemaren masih melaksanakan shalat ‘id disamping kita, sekarang mereka, orang-orang yang kita cintai itu telah tiada dan kembali kehadirat-Nya. Kehidupan dunia ini tidak ada yang kekal, ia akan terus bergerak sesuai dengan kehendak dan ketentuan Rabbul ‘Alamin.

Sebagai seorang mukmin, tentu tidak ada celah untuk bersikap frustasi dan menyerah kepada keadaan, akan tetapi ia harus tetap optimis, bekerja keras dan cerdas seraya tetap mengharap bimbingan Allah SWT, karena sesungguhnya rahmat dan pertolongan-Nya akan senantiasa mengiringi hamba-hamba-Nya yang sabar dan teguh menghadapi ujian. Sebagai seorang mukmin, kita juga tak boleh hanyut dalam godaan dan glamornya kehidupan yang menipu dan fana ini.

Justru sebaliknya, orang mukmin harus terus menerus berusaha mengobarkan obor kebajikan, menebarkan marhamah, menegakkan da’wah, merajut ukhuwah dan menjawab segala tantangan dengan penuh kearifan dan kesungguhan. Bukankah Allah SWT telah berjanji :

وَلاَ تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنُ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ .

Artinya “Dan janganlah kamu bersikap lemah dan bersedih hati, padahal kalian orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran : 140).

Abu Hamid bin Muhammad Al Ghozali dalam Ihya Ulumuddin melukiskan para penghuni kehidupan dunia ini laksana seorang pelaut yang sedang mengarungi samudera, satu tarikan nafas bagaikan satu rengkuhan dayung, cepat atau lambat biduk yang ditumpangi akan mengantarkannya ke pantai tujuan. Dalam perjalanan itu, setiap nahkoda berada di antara dua kecemasan, antara mengingat perjalanan yang sudah di lewati dengan rintangan angin dan gelombang yang menerjang dan antara menatap sisa-sisa perjalanannya yang masih panjang di mana ujung rimbanya belum tentu dapat mencapai keselamatan.

Tamsil tentang kehidupan ini hendaknya mengingatkan, agar kita senantiasa berupaya memanfaatkan umur yang kita miliki dengan sebaik-baiknya, usia yang masing-masing kita miliki pasti masih akan tetap menghadapi tantangan, ujian dan selera kehidupan yang menggoda, karenanya kita harus tetap mawas diri dan tidak terbuai dengan nafsu angkara murka yang suatu saat dapat menjerumuskan kita dalam limbah kenistaan, kita pergunakan kesempatan dan sisa umur yang kita tidak pernah tahu kapan akan berakhir ini untuk memperbanyak bekal dan amal shaleh guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di alam dunia yang fana ini, maupun di alam akhirat yang kelal abadi.

Suatu saat Lukman Al Hakim, seorang shalih yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an pernah menyampaikan taushiyah kepada putranya:

َيا بُنَيَّ ! إنَّ الدُنْيَا بَحْرٌ عَمِيْقٌ وَقَدْ غَرَقَ فِيْهَا أُنَاسٌ كَثِيْرٌ ، فَاجْعَلْ سَفِيْنَتَكَ فِيْهَا تَقْوَى اللهِ وَحَشْوُهَا الإيْمَانُ وَشَرَاعُهَا التَّوَكَّلُ عَلىَ اللهِ لَعَلَّكَ تَنْجُوْ.


“Wahai anakku, sesunguhnya dunia ini laksana lautan yang dalam dan telah banyak manusia tenggelam di dalamnya, oleh karenanya, jadikanlah taqwa kepada Allah SWT sebagai kapal untuk mengarunginya, iman sebagai muatannya, tawakkal sebagai layarnya niscaya engkau akan selamat sampai tujuan”.
الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa berkenan membimbing kita semua agar tergolong hamba-hambanya yang mampu meraih sertifikat kefitrahan di hari kemenangan yang agung ini, sehinnga kita layak mendapatkan penghargaan “Minal’aidin Walfaizin”, Semoga Allah SWT berkenan mencurahkan rahmat-Nya kepada bangsa Indonesia serta umat Islam pada umumnya untuk senantiasa mengamalkan syariat-Nya, menghidupkan sunnah-sunnah Rasul-Nyaز

Semoga momentum Idul Fitri ini juga benar-benar mampu mengantarkan tatanan kehidupan kita yang berlandaskan nilai-nilai agama, akhlak karimah, kebersamaan dan kasih sayang guna terwujudnya ummat dan masyarakat Indonesia yang berharkat dan bermartabat, sejahtera dan berperadaban, baldatun thayyibatun warabbun ghafur, bangsa yang gemah ripah lohjinawi di bawah naungan ridla Allah SWT. Amin, Ya Mujiibassaailiin.

Bekasi, Penghujung Ramadhan 1429 H.

« Kembali ke arsip Khotbah | Print


Komentar:


Imam Basuni menulis:
Al hamdulillah PBNU banyak referensi untuk Khutbah, namun harapannya jangan terlalu mepet dengan hari raya. Sukron, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H. Maaf lahir batin
Ali Mustofa menulis:
Asslamu'alaikum, Wr,Wb.
Alhamdulillah, setelah membaca khutbah idul fitri 1429 H, mohon diterbitkan khutbah idhul Adha 1429 H sebagai bahan untuk khutbah mendatang,
Afwan, Wassalam Baca selengkapnya!

khutbah idul fitri 1429 H

KHUTBAH IDUL FITRI
Mengurai Makna Fitrah di Tengah Arus Perubahan dan Dinamika Kehidupan
30/09/2008

Oleh : H. Khoirul Huda Basyir, Lc, M,Si

Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Majelis Ulama Indosesia, Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia dan Pegawai Departemen Agama RI.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ 3 X لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَالله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد ، الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِْعمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ الَّذِيْ هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أنْ هَدَانَا الله ُ ، أشْهَدُ أنْ لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الَّذِيُ خَصَّنَا بِخَيْرِ كِتَابٍ أُنْزِلَ وَأَكْرَمَنَا بِخَيْرِ نَبِىٍّ أُرْسِلَ وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النٍّعْمَةَ بِأَعْظَمِ دِيْنِ شَرْعٍ دِيْنِ اْلإسْلاَمِ ، أليَوْمَ أكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإسْلَمَ دِيْنًا ، وَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَتَرَكَنَا عَلىَ اْلمَحَجَّةِ اْلبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا ، لاَيَزِيْغُ عَنْهَا إلاَّ هَالِكٌ, أللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ الطَّاهِرِيْنِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . أمَّا بَعْدُ,

فَيَا عِبَادَ اللهِ ! اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ, وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ, قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ : وَلِتُكْمِلُوْا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ :

Hadirin sidang Jamaah Idul Fitri yang Dimuliakan Allah
Dalam suasana pagi hari yang khidmat berselimut rahmat dan kebahagiaan ini, marilah kita senantiasa memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala curahan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita semua, sehingga di pagi hari yang cerah ini kita dapat menunaikan sholat ‘dul Fitri dengan khusyu’ dan tertib.

Hari ini, takbir dan tahmid berkumandang di seluruh penjuru dunia, mengagungkan asma Allah SWT. Gema takbir yang disuarakan oleh lebih dari satu setengah milyar umat manusia di muka bumi ini, menyeruak di setiap sudut kehidupan, di masjid, di lapangan, di surau, di kampung-kampung, di gunung-gunung, di pasar, dan di seluruh pelosok negeri umat Islam.

Pekik suara takbir itu juga kita bangkitkan disini, di bumi tempat kita bersujud dan bersimpuh ke hadirat-Nya. Iramanya memenuhi ruang antara langit dan bumi, disambut riuh rendah suara malaikat nan khusyu’ dalam penghambaan diri mereka kepada Allah SWT. Getarkan qalbu (hati) mukmin yang tengah dzikrullah, penuh mahabbah, penuh ridha, penuh roja’ (pengharapan) akan hari perjumpaannya dengan Sang Khaliq, Dzat yang mencipta jagat raya dengan segala isinya.

Kumandang takbir dan tahmid itu sesungguhnya adalah wujud kemenangan dan rasa syukur kaum muslimin kepada Allah SWTatas keberhasilannya meraih fitrah (kesucian diri) melalui mujahadah (perjuangan lahir dan batin) dan pelaksanaan amal ibadah selama bulan suci Ramadhan yang baru berlalu. Allah SWT menegaskan :


وَلِتُكْمِلُوْا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu semoga kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. al-Baqoroh : 185)

Islam sesungguhnya telah mengajarkan takbir kepada umatnya, agar ia senantiasa mengagungkan asma Allah SWT kapanpun dan di manapun, saat adzan kita kumandangkan takbir, saat iqamah kita lafalkan takbir, saat membuka shalat kita ucapkan takbir, saat bayi lahir kita perdengarkan kalimat takbir, saat menyembelih hewan kita baca takbir, bahkan saat di medan laga perjuangan, kita juga mengumandangkan suara takbir.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Dalam suasana kemenangan ini, marilah kita menghayati kembali makna kefitrahan kita, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifatullah fil ardli. Idul Fitri yang dimaknai kembali kepada kesucian ruhani,’ atau ‘kembali ke asal kejadian manusia yang suci, atau ‘kembali ke agama yang benar’, sesungguhnya mengisyaratkan, bahwa setiap orang yang merayakan Idul fitri berarti dia sedang merayakan kesucian ruhaninya, mengurai asal kejadiannya dan menikmati sikap keberagamaan yang benar, keberagamaan yang diridlai Allah swt.

Di sinilah sesungguhnya letak keagungan dan kebesaran hari raya Idul fitri, Hari di mana para hamba Allah merayakan keberhasilannya mengembalikan kesucian diri dari segala dosa dan khilaf melalui pelaksanaan amal shaleh dan ibadah puasa Ramadhan, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan dilaksanakan dengan benar, maka ia diampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (HR. Imam Muslim).

Namun patut diingat, bahwa dosa atau kekhilafan antar sesama umat manusia, ia baru terampuni apabila mereka saling memaafkan, dan karena itulah, mari kita jadikan momentum Idul Fitri yang suci ini untuk saling meminta dan memberi maaf atas segala kesalahan antar sesama, kita buang perasaan dendam, kita sirnakan keangkuhan dan kita ganti dengan pintu maaf dan senyum sapa yang tulus penuh dengan persaudaraan dan kehangatan silaturrahim antar sesama.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد


Namun patut diingat, bahwa dosa atau kekhilafan antar sesama umat manusia, ia baru terampuni apabila mereka saling memaafkan, dan karena itulah, mari kita jadikan momentum Idul Fitri yang suci ini untuk saling meminta dan memberi maaf atas segala kesalahan antar sesama, kita buang perasaan dendam, kita sirnakan keangkuhan dan kita ganti dengan pintu maaf dan senyum sapa yang tulus penuh dengan persaudaraan dan kehangatan silaturrahim antar sesama.

Terkait dengan kemuliaan orang yang mampu mensucikan dirinya ini, Allah SWT menggambarkan dalam firman-Nya, Surat Al-Fathir, ayat 18-21 :

وَمَنْ تَزَكَّى فَإنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ وَإلَى اللهِ الْمَصِيْرُ (18) وَمَا يَسْتَوِيْ اْلأَعْمَى وَاْلبَصِيْرُ (19) وَلاَ الظُّلُمَاتُ وَلاَ النُّوْرُ (20) وَلاَ الظِّلُّ وَلاَ اْلحَرُوْرُ (21).

“Barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya dia telah mensucikan diri untuk memperoleh kebahagiaannya sendiri. Dan hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu. Bukankah tidak sama orang yang buta dengan orang yang melihat ? Bukankah pula tidak sama gelap-gulita dengan terang-benderang ? Dan bukankah juga tidak sama yang teduh dengan yang panas ?” (QS. al-Fathir : 18-21)

Pada ayat tersebut, Allah SWT membandingkan antara orang yang mampu mensucikan jiwanya dengan yang suka mengotorinya, laksana orang yang melihat dengan orang yang buta, laksana terang dan gelap, laksana teduh dan panas. Sungguh sebuah metafora yang patut kita renungkan. Allah seolah hendak menyatakan bahwa manusia yang suci, manusia yang baik, manusia yang menang dan beruntung itu, adalah mereka yang mau dan mampu melihat persoalan lingkungannya secara bijak dan kemudian bersedia menyelesaikannya, mereka yang mampu menjadi lentera di kala gelap, dan menjadi payung berteduh di kala panas. Mereka inilah pemilik agama yang benar, agama yang hanifiyyah wa al-samhah – terbuka, toleran, pemaaf, dan santun. Inilah agama tauhid, agama Nabi Ibrahim dan anak keturunannya : Ismail, Ishaq, Ya’kub, Yusuf, dan Nabi Muhammad saw.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Idul Fitri pada hakikatnya memberikan pesan kepada kita, bahwa syari’at Islam mengajarkan kepada kesucian, keindahan, kebersamaan dan mengarahkan umatnya memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, rukun dalam kebersamaan dan bersama dalam kerukunan. Segala kelebihan yang melekat dalam diri manusia dalam bentuk apapun, hendaknya disadari bahwa selain merupakan nikmat, ia juga sekaligus sebagai amanat.

Perbuatan yang indah akan melahirkan seni dan estetika, dan seni akan menghasilkan kreatifitas yang membangun dan menyejukkan. Perbuatan baik akan menimbulkan etika dan menciptakan tatanan kehidupan yang tertib dan harmonis, sementara kebenaran akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang mengantarkan kemajuan peradaban umat manusia. Karenanya perubahan ke arah yang lebih baik hanya akan dapat diwujudkan oleh pribadi-pribadi yang dalam dirinya telah bersemi ke-Fitrah-an.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Oleh karena Fitrah manusia dapat berubah dari waktu ke waktu berubah karena pergaulan, karena pengaruh budaya dan lingkungan, karena latar belakang pendidikan dan karena faktor-faktor lain, maka agar Fitrah itu tetap terpelihara kesuciannya, hendaknya ia selalu mengacu pada pola kehidupan islami yang berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunnah dan teladan para ulama, pola kehidupan yang bersendikan nilai-nilai agama dan akhlak mulia, sehingga darinya diharapkan mampu membangun manusia seutuhnya, insan kamil yang memiliki keteguhan iman, keluasan ilmu pengetahuan serta tangguh menjawab berbagai peluang dan tantangan kehidupan.

Karena itu, segala kebiasaan baik yang telah kita lakukan di bulan suci Ramadhan, baik ibadah shiyam, qiyamullail, tilawah dan tadabbur Al-Quran, peduli kaum dluafa, mengendalikan amarah dan hawa nafsu, menjaga kejujuran hendaknya tetap kita lestarikan dan bahkan kita tingkatkan sedemikian rupa agar dapat menjadi tradisi yang mulia dalam diri, keluarga dan lingkungan masyarakat kita, sehingga Fitrah yang telah kita raih di hari yang agung ini akan tetap terpelihara hingga ahir kehidupan kita. Marilah kita jadikan spirit ibadah puasa sebagai perisai diri kita dari godaan dan ujian kehidupan di masa-masa mendatang.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Hadirin sidang Jamaah Idul Fitri yang Berbahagia
Ibadah shaum pada hakekatnya merupakan suatu proses penempaan dan pencerahan diri, yakni upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mengubah perilaku setiap Muslim, menjadi orang yang semakin meningkat ketakwaannya. Melalui ibadah shaum -sebagai manusia yang memiliki nafsu dan cenderung ingin selalu mengikuti hawa nafsu- kita dilatih untuk mengendalikan diri supaya menjadi manusia yang dapat berprilaku sesuai dengan Fitrah aslinya. Fitrah asli manusia adalah cenderung taat dan mengikuti ketentuan Allah SWT. Melalui proses pencerahan yang terkandung dalam ibadah shaum diharapkan setiap muslim menjadi manusia yang di mana pun kehadirannya, terutama dalam masyarakat yang bersifat plural ini dapat memberi manfaat kepada sesama.

Risalah Islam sesungguhnya bukan hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja, tetapi ajarannya juga syarat dengan nilai-nilai yang bersifat universal. Seperti ajaran yang menekankan pentingnya setiap muslim agar mau dan mampu memberi manfaat kepada sesama. Dalam pandangan Islam, salah satu indikator kualitas kepribadian seseorang adalah seberapa besar kehadirannya mampu memberi manfaat kepada sesama, atau dalam bahasa lain semakin besar kemampuan seseorang memberikan manfaat kepada orang lain, maka semakin unggul pula kualitas keberagamaannya. Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ : خَيْرُ النَّاسِ أنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Artinya “Sebaik-baik manusia (Muslim) adalah orang yang paling (banyak) memberi manfaat kepada manusia”. (HR. Al-Qudla’i)

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Hal lain yang perlu kita sadari dalam mengarungi samudera kehidupan ini adalah, bahwa telah menjadi sunnatullaah bila kehidupan ini diwarnai dengan susah dan senang, tangis dan tawa, rahmat dan bencana, menang dan kalah, peluang dan tantangan yang acap kali menghiasi dinamika kehidupan kita. Orang bijak sering menyatakan, “hidup ini laksana roda berputar”, sekali waktu bertengger di atas, pada waktu lain tergilas di bawah. Kemarin sebagai pejabat sekarang kembali menjadi rakyat, satu saat kaya, saat yang lain hidup sengsara, kemarin sehat bugar, saat ini berbaring sakit, bahkan mungkin tetangga kita, saudara kita, orang tua kita, suami/istri kita, anak-anak kita tahun kemaren masih melaksanakan shalat ‘id disamping kita, sekarang mereka, orang-orang yang kita cintai itu telah tiada dan kembali kehadirat-Nya. Kehidupan dunia ini tidak ada yang kekal, ia akan terus bergerak sesuai dengan kehendak dan ketentuan Rabbul ‘Alamin.

Sebagai seorang mukmin, tentu tidak ada celah untuk bersikap frustasi dan menyerah kepada keadaan, akan tetapi ia harus tetap optimis, bekerja keras dan cerdas seraya tetap mengharap bimbingan Allah SWT, karena sesungguhnya rahmat dan pertolongan-Nya akan senantiasa mengiringi hamba-hamba-Nya yang sabar dan teguh menghadapi ujian. Sebagai seorang mukmin, kita juga tak boleh hanyut dalam godaan dan glamornya kehidupan yang menipu dan fana ini.

Justru sebaliknya, orang mukmin harus terus menerus berusaha mengobarkan obor kebajikan, menebarkan marhamah, menegakkan da’wah, merajut ukhuwah dan menjawab segala tantangan dengan penuh kearifan dan kesungguhan. Bukankah Allah SWT telah berjanji :

وَلاَ تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنُ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ .

Artinya “Dan janganlah kamu bersikap lemah dan bersedih hati, padahal kalian orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran : 140).

Abu Hamid bin Muhammad Al Ghozali dalam Ihya Ulumuddin melukiskan para penghuni kehidupan dunia ini laksana seorang pelaut yang sedang mengarungi samudera, satu tarikan nafas bagaikan satu rengkuhan dayung, cepat atau lambat biduk yang ditumpangi akan mengantarkannya ke pantai tujuan. Dalam perjalanan itu, setiap nahkoda berada di antara dua kecemasan, antara mengingat perjalanan yang sudah di lewati dengan rintangan angin dan gelombang yang menerjang dan antara menatap sisa-sisa perjalanannya yang masih panjang di mana ujung rimbanya belum tentu dapat mencapai keselamatan.

Tamsil tentang kehidupan ini hendaknya mengingatkan, agar kita senantiasa berupaya memanfaatkan umur yang kita miliki dengan sebaik-baiknya, usia yang masing-masing kita miliki pasti masih akan tetap menghadapi tantangan, ujian dan selera kehidupan yang menggoda, karenanya kita harus tetap mawas diri dan tidak terbuai dengan nafsu angkara murka yang suatu saat dapat menjerumuskan kita dalam limbah kenistaan, kita pergunakan kesempatan dan sisa umur yang kita tidak pernah tahu kapan akan berakhir ini untuk memperbanyak bekal dan amal shaleh guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di alam dunia yang fana ini, maupun di alam akhirat yang kelal abadi.

Suatu saat Lukman Al Hakim, seorang shalih yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an pernah menyampaikan taushiyah kepada putranya:

َيا بُنَيَّ ! إنَّ الدُنْيَا بَحْرٌ عَمِيْقٌ وَقَدْ غَرَقَ فِيْهَا أُنَاسٌ كَثِيْرٌ ، فَاجْعَلْ سَفِيْنَتَكَ فِيْهَا تَقْوَى اللهِ وَحَشْوُهَا الإيْمَانُ وَشَرَاعُهَا التَّوَكَّلُ عَلىَ اللهِ لَعَلَّكَ تَنْجُوْ.


“Wahai anakku, sesunguhnya dunia ini laksana lautan yang dalam dan telah banyak manusia tenggelam di dalamnya, oleh karenanya, jadikanlah taqwa kepada Allah SWT sebagai kapal untuk mengarunginya, iman sebagai muatannya, tawakkal sebagai layarnya niscaya engkau akan selamat sampai tujuan”.
الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa berkenan membimbing kita semua agar tergolong hamba-hambanya yang mampu meraih sertifikat kefitrahan di hari kemenangan yang agung ini, sehinnga kita layak mendapatkan penghargaan “Minal’aidin Walfaizin”, Semoga Allah SWT berkenan mencurahkan rahmat-Nya kepada bangsa Indonesia serta umat Islam pada umumnya untuk senantiasa mengamalkan syariat-Nya, menghidupkan sunnah-sunnah Rasul-Nyaز

Semoga momentum Idul Fitri ini juga benar-benar mampu mengantarkan tatanan kehidupan kita yang berlandaskan nilai-nilai agama, akhlak karimah, kebersamaan dan kasih sayang guna terwujudnya ummat dan masyarakat Indonesia yang berharkat dan bermartabat, sejahtera dan berperadaban, baldatun thayyibatun warabbun ghafur, bangsa yang gemah ripah lohjinawi di bawah naungan ridla Allah SWT. Amin, Ya Mujiibassaailiin.

Bekasi, Penghujung Ramadhan 1429 H.

« Kembali ke arsip Khotbah | Print


Komentar:


Imam Basuni menulis:
Al hamdulillah PBNU banyak referensi untuk Khutbah, namun harapannya jangan terlalu mepet dengan hari raya. Sukron, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H. Maaf lahir batin
Ali Mustofa menulis:
Asslamu'alaikum, Wr,Wb.
Alhamdulillah, setelah membaca khutbah idul fitri 1429 H, mohon diterbitkan khutbah idhul Adha 1429 H sebagai bahan untuk khutbah mendatang,
Afwan, Wassalam Baca selengkapnya!

Rabu, 08 Oktober 2008

Membangun Keikhlasan dalam Beramal

24/4/2008 | 17 Rabiul Akhir 1429 H | Hits: 3.938

Membangun Keikhlasan Dalam Beramal

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
Kirim

الحمد لله الذى جَعَلَنا مِنْ عِبادِهِ الْمُخْلِصِيْْنَ ووَفَّقَنا لِلْعَمَلِ بِما فيهِ صَلاحُ الاسْلامِ والمسلمين

أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الهادى الى الصراط لمستقيم أما بعد،، فياأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل والتَّمَسُّكِ بهذا الدِّين تَمَسُّكًا قَوِيًّا. فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ “

dakwatuna.com - Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah..

Alhamdulilllah, segala puji kita panjatkan kehadirat Allah swt bahwa hingga saat ini, Allah masih memberi kita kesempatan untuk menyempurnakan pengabdian kita kepadaNya, dengan harapan mudah-mudahan segala kekurangan dalam proses pengabdian itu diampuni oleh Allah swt. Mudah-mudahan juga momentum hari jumat ini semakin memberikan kita kesadaran akan peningkatan kualitas iman dan takwa kita kepadaNya. Amin.

Sesungguhnya kehidupan ini memang Allah ciptakan untuk menguji siapa diantara hambaNya yang paling banyak dan paling baik beramal. Beramal merupakan inti dari keberadaan manusia di dunia ini, tanpa amal maka manusia akan kehilangan fungsi dan peran utamanya dalam menegakkan khilafah dan imarah. Allah berfirman menegaskan tujuan keberadaan manusia,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun“. (Al-Mulk: 2)

Namun pada tahap implementasinya, ternyata tidak cukup hanya beramal saja, karena memang Allah akan menseleksi setiap amal itu dari niatnya dan keikhlasannya. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan sia-sia tidak berguna dan tidak dipandang sedikitpun oleh Allah swt. Imam Al-Ghazali menuturkan, “Setiap manusia binasa kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu akan binasa kecuali orang yang beramal (dengan ilmunya). Orang yang beramal juga binasa kecuali orang yang ikhlas (dalam amalnya). Namun orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal”. Dalam hal ini, hanya orang-orang yang ikhlas beramal yang akan mendapat keutamaan dan keberkahan yang sangat besar, seperti yang dijamin Allah dalam firmanNya, “Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (bekerja dengan ikhlas). Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, di dalam syurga-syurga yang penuh kenikmatan”. (Ash-Shaaffat: 40-43)

Ma’asyiral Muslimin RahimakumuLlah…

Ayat tentang keutamaan dan jaminan bagi orang yang bekerja dengan ini ini seharusnya menjadi motifasi utama kita dalam menjalankan tugas dan pekerjaan kita sehari-hari dalam apapun dimensi dan bentuknya, baik dalam konteks “hablum minaLlah atau Hablum minannas”..karena hanya orang yang mukhlis nantinya yang akan meraih keberuntungan yang besar di hari kiamat, yaitu syurga Allah yang penuh dengan kenikmatan, meskipun dia harus banyak bersabar terlebih dahulu ketika di dunia. Ayat ini juga merupakan salah satu diantara jaminan yang disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang mukhlis.

Jaminan lain yang Allah sediakan bagi mereka yang ikhlas dalam beramal bisa ditemukan dalam kisah perjalanan Yusuf as ketika beliau berhadapan dengan seorang wanita yang mengajaknya melakukan kemaksiatan. Bahwa Allah akan senantiasa memelihara hambaNya yang mukhlis dari perbuatan keji dan maksiat, “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang mukhlis“. (yusuf: 24). Dalam ayat lain, orang yang mukhlis juga mendapat jaminan akan terhindar dari godaan dan bujuk rayu syetan. Syetan sendiri mengakui ketidakberdayaan dan kelemahan mereka dihadapan orang-orang yang beramal dengan ikhlas, “Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (Al-Hijr: 39-40). Dengan redaksi yang sama, ayat ini berulang dalam surah Shaad, “Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka“. (Shad: 82-83). Sungguh benteng keikhlasan merupakan benteng yang paling kokoh yang tak tergoyahkan oleh apapun bentuk rayuan dan fitnah iblis dan sekutunya.

Ma’asyiral muslimin RahimakumuLlah…

Dalam tinjauan ilmu qira’at, para ulama qira’at berbeda dalam membaca kata “Al-Mukhlashin” yang tersebut pada akhir kedua ayat tersebut. Sebagian qari’ membaca Al-Mukhlashin dengan ism maf’ul dan sebagian lainnya membaca dengan isim fi’il Al-Mukhlishin. Imam Ibnu Katsir, Abu Amr dan Ibnu Amir, membaca seluruh kalimat ini dalam Al-Qur’an dengan bacaan “Al-Mukhlishin” yang artinya: Mereka mampu memurnikan agama dan ibadah mereka dari segala noda yang bertentangan dengan nilai tauhid. Sedangkan ulama qira’at yang lain membaca Al-Mukhlashin yang artinya: Mereka yang dipelihara dan mendapat taufik dari Allah untuk memiliki sifat Ikhlas. Berdasarkan qira’at ini, ikhlas dan iman adalah mutlak anugerah Allah swt kepada hamba-hambaNya yang dikehendaki. Namun setiap hamba diperintahkan oleh Allah untuk senantiasa memperhatikan dan meningkatkan kadar dan tingkt keikhlasannya dalam beramal. Bahkan Allah menyuruh kita meneladani orang-orang yang mendapat petunjuk karena tidak pernah mengharapkan balasan dari amalnya kecuali dari Allah swt, “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Yaasin: 21)

Secara prinsip, Islam memandang keikhlasan sebagai pondasi dan ruh sebuah amal, apapun bentuknya amal tersebut selama termasuk kategori amal sholih. Baik amal tersebut dilakukan dalam skala pribadi maupun secara kolektif (bermasyarakat, berbangsa dan bernegara). Bahkan keikhlasan dalam ruang lingkup kolektif sosial ternyata sesuatu yang berat dan memerlukan lebih kesabaran. Dalam konteks ini, keikhlasan harus dibangun secara timbal balik antara seluruh individu dalam masyarakat dan menghindari kecemburuan serta persepsi negatif terhadap masing-masing anggota. Demikian, semakin luas wilayah kerja seseorang, maka semakin dibutuhkan keikhlasan. Apalagi di tengah semakin beragam hambatan atau ujian keikhlasan yang menghadangnya, yang pada umumnya adalah seperti yang dinyatakan oleh Syekh Hasan Al-Banna’ dalam Risalahnya, yaitu: harta, kedudukan, popularitas, gelar, ingin selalu tampil di depan dan diberi penghargaan dan pujian dan sebagainya.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumuLlah…

Jika keikhlasan dituntut dari setiap orang yang beramal, maka menurut Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, keikhlasan bagi seorang da’i merupakan keniscayaan yang harus senantiasa menyertainya karena ia akan berhadapan dengan berbagai keadaan dan beragam manusia dalam perjalanan dakwahnya. Jika tidak, maka binasa dan sia-sialah amalnya. Bahkan sifat yang mendasar bagi seorang da’i yang harus senantiasa melaziminya adalah ikhlas. Oleh karena itu, para ulama hadits menjadikan bab Niat berada di awal kitab hadits susunan mereka, agar karya tulis mereka selalu diawali dengan keikhlasan dan tidak luput dari sifat ini. Bisa dibayangkan para ulama yang merupakan teladan dalam beramal mencontohkan kita agar senantiasa mengukur setiap amal yang kita lakukan dengan ukuran ikhlas.

Para nabi Allah dalam kapasitas mereka sebagai da’i senantiasa menjadikan keikhlasan sebagai jargon dan prinsip dakwah mereka. Sebagai contoh Nabi Muhammad saw sebagai teladan utama dalam hal ini mengemukakan tentang motifasinya dalam berdakwah, “Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan nya“. (Al-Furqan: 57)

Dengan redaksi yang sama dan dalam surah yang sama secara berdampingan, seluruh nabi Allah menekankan prinsip keikhlasan dalam dakwah mereka yang ideal, mulai dari nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth dan Syu’aib as. “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam“. (Asy-Syu’ara’: 109, 127, 145, 164, 180). Inilah bangunan keikhlasan yang pernah ditunjukkan dan dicontohkan dalam dakwah para nabi Allah swt, sehingga mereka meraih kesuksesan dan diabadikan namanya oleh Allah swt sebagai cerminan bagi para da’i setelah mereka.

Ma’asyiral Muslimin rhimakumuLlah…

Menurut bahasa, dalam kata ikhlas terkandung beberapa makna; jernih, bersih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi maupun non materi. Lawan dari ikhlas adalah nifak dan riya’. Rasulullah saw bersabda tentang sifat yang mulia ini dalam sabdanya, “Barangsiapa yang tujuan utamanya meraih pahala akhirat, niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya dalam kalbunya, menghimpunkan baginya semua potensi yang dimilikinya, dan dunia akan datang sendiri kepadanya seraya mengejarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang tujuan utamanya meraih dunia, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinannya berada di depan matanya, membuyarkan semua potensi yang dimilikinya, dan dunia tidak akan datang sendiri kepadanya kecuali menurut apa yang telah ditakdirkan untuknya“. (Tirmidzi).

Dalam apapun keadaan, keikhlasan akan tetap menjadi modal, bekal sekaligus kemudi amal sholih, apalagi dakwah sebagai puncak dari amal sholih. Karena semakin berat dan mulia sebuah tugas tentu akan semakin dibutuhkan keikhlasan. Semakin dewasa perjalanan dan pengalaman dakwah seseorang, maka semestinya semakin baik tingkat dan kualitas keikhlasannya. Keikhlasan juga merupakan salah satu dari dua pilar dan syarat diterimanya amal sholih, bahkan ia yang paling utama, seperti yang dinyatakan oleh Abdullah bin Al-Mubarak ketika menafsirkan ayat: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Al-Mulk: 2). Tanpanya amal seseorang akan sia-sia tidak bernilai. Untuk itu, dengan ikhlas, akan mencukupi amal yang sedikit seperti yang ditegaskan dalam sebuah riwayat Ad-Dailami, “Ikhlaslah kamu dalam beramal, maka cukuplah amal yang sedikit yang kamu lakukan”.

” أَخْلِصِ الْعَمَلَ يَجْزِيْكَ القلِيْلُ مِنْهُ”

Agar ikhlas dapat terpelihara, tentu ada variabel yang melekat pada setiap amal yang kita lakukan; diantaranya variabel profesionalisme, kompetensi, itqan dan kesungguhan. Maka amal yang cenderung apa adanya, serampangan, asal jadi, “pokoknya” dan amal yang tidak konsisten bisa jadi karena ketidak ikhlasan kita dalam menjalankan tugas tersebut. Ini tantangan terberat bagi kita sesungguhnya. Ikhlas inilah yang akan memperkuat potensi spritualitas kita. Lantas pertanyaan besar kita, “Apakah ruh dan motifasi yang menggerakkan roda amal kita selama ini ???…

بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم ونفعنى واياكم بما فيه من الايات والذكر الحكيم وتقبل الله منى ومنكم تلاوته انه هو السميع العليم

Baca selengkapnya!

Kamis, 25 September 2008

Khutbah Idul Fitri 1429 H

Menahan Marah, Mema’afkan dan Berbuat Baik

Adalah Kesatuan Nilai Yang Mendasari Ketakwaan

Oleh : Asep Farhanil Ibad, S.Ag.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، لا إله إلا الله والله اكبر، الله اكبر و لله الحمد .

الحمد لله الذى فرض على المؤمين صيام رمضان ، ووفقنا فيه إلى الأعمال الصالحات التى سنها رسوله الكريم الأمين ، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له الملك الحق المبين ، وأشهد أن محدا عبده ورسوله الذى أرسله رحمة للعا لمين ، اللهم صل وسلم على هذا النبي الكريم سيدنا محمد أشرف الأنبياء والمرسلين ، وعلى آله وأصحابه وأمته أجمعين ، أما بعد : فيا أيها الحاضرون ! اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون ، وبادروا بالأعمال الصالحات يرحمكم برحمته ويغفر لكم ذنوبكم ويدخلكم جنة تجري من تحتها الأنهاروذلك الفوز العظيم .

قال الله تعالى في القرآن الكريم ، أعوذ با الله من الشيطان الرجيم : ياأيّها النّاس اتقوا ربّكم الذى خلقكم من نفس واحدة وّخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونسـاء ، واتقوا الله الذى تساء لون به والأ رحام إنّ الله كان عليكم رقيبا.

Hadirin Kaum Muslimin, Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Fajar 1 Syawwal 1429 H telah menyingsing di ufuk timur. Saat ini kita semua berada dihari yang agung. Hari ini Allah ’Azza wa Jalla memperlihatkan kemuliaan dan keagungan-Nya, dimana seluruh ummat TAUHID di segenap penjuru dunia bersedia untuk bangkit secara serentak menggemakan dan mengumandangkan kalimat takbir, tahlil, tahmid dan tasbih yang merupakan refleksi dan realisasi rasa syukur, sebagai ungkapan kesadaran, keyakinan serta merupakan panji-panji kemenangan dan kejayaan ummat Islam.

Untuk itu, marilah kita panjatkan rasa syukur kita kepada Allah SWT. atas segala ni’mat yang telah diberikan-Nya kepada kita, terutama pada hari ini, setelah kita semua menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan sebulan penuh, kita berkumpul di tempat sini duduk bersimpuh mengagungkan Asma-Nya, menyatakan dan mengakui kebesaran-Nya. Sungguh Maha Besar Allah yang kebesaran-Nya tidak tertandingi; Sungguh Maha Pemurah Allah yang nikmat-Nya tiada terhingga.

وإن تعدوا نعمة الله لا تحصوها

Kita bersyukur telah mampu menyelesaikan ibadah di bulan Ramadhan pada tahun ini, dan Insya Allah ibadah kita diterima oleh Allah sehingga kita menjadi orang-orang yang memperoleh keberuntungan, kebahagiaan dan menjadi orang-orang yang kembali kepada kesucian. Baginda Rasul SAW. telah menjanjikan bahwa orang-orang yang di siang hari bulan Ramadhan berpuasa, dan melaksanakan shalat di malam harinya dengan dasar iman dan mengharap keridoan Allah semata, maka akan diampuni dosa-dosanya, dia menjadi bersih dan suci kembali laksana bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya.

من صامه وقامه إيمانا واحتسابا خرج من ذنوبه كيوم ولدته أمه

Fitrah adalah yakni suatu potensi yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia sejak dilahirkan ke muka bumi ini; potensi yang bebas dari segala noda dan dosa, yang dengan potensi ini manusia mempunyai kecenderungan untuk beriman kepada Sang Khaliq dan untuk senantiasa berbuat baik.

كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودنه أو ينصرنه أو يمجسنه

“Setiap anak terlahir dalam keadaam fitrah. Maka orangtuanyalah yang akan menjadikan dia yahudi, nasrani, dan atau majusi”.

Fitrah bukan suatu keadaan diantara kebaikan dan kejahatan atau keburukan, akan tetapi fitrah adalah kekuatan yang berisi kecenderungan kepada kebaikan. Oleh karena itu, sebagian besar ulama berkeyakinan bahwa seseorang yang meninggal sebelum dia mukallaf maka dia akan masuk syurga dengan sebab fitrahnya yang belum ternodai oleh kesalahan dan dosa. Demikian pula, kalau kita mampu mempertahankan kondisi fitrah yang kita peroleh setelah berpuasa di bulan Ramadhan, pada saat kita dipanggil menghadap Allah ‘Azza wa Jalla, dengan kesalahan-kesalahan yang sudah terampunkan, kitapun akan sama seperti bayi yang memperoleh keridhaan dan syurga-Nya. Maka, alangkah gembira dan bahagianya orang-orang yang memperoleh derajat seperti ini, sebagaimana dikatakan Rasululullah SAW. bahwa bagi mereka orang yang berpuasa ada dua kegembiraan; yaitu kegembiraan ketika idul fitri dan kegembiraan ketika bertemu dengan Allah di akhirat nanti yang ketika itu orang-orang yang berpuasa termasuk golongan yang diistimewakan.

للصائم فرحتان فرحة عند فطره وفرحة عند لقاء ربه .

الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد

Hadirin Kaum Muslimin, Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Di pagi hari yang cerah ini, ketika kita mendengar takbir dikumandangkan, tahlil, tahmid dan tasbih serta puji-pujian kepada Allah dilantunkan, ada sebersit rasa haru dan penyesalan yang muncul di hati khususnya mereka yang telah ditinggal oleh kedua orang tua, sanak saudara atau orang-orang yang dicintai. Terbayang ketika mereka masih hidup, biasanya kita datang dan duduk bersimpuh di pangkuan ayah dan bunda seraya menyampaikan permohonan ampun serta maaf atas kesalahan dan kekhilafan kita sebagai anak yang terkadang berbuat dan berkata melukai hati mereka. Kita mengucapkan terima kasih atas pengorbanan yang mereka berikan kepada kita tanpa mengharap balas jasa. Sulit untuk kita lupakan perjuangan berat mereka menyayangi dan mendidik kita sewaktu masih kecil, terlalu besar pengorbanan mereka untuk kita abaikan. Oleh karenanya, di pagi hari yang fitri ini sudah seharusnya kita memanjatkan do’a kepada Allah SWT. untuk mereka.

Ya Allah ya Rabbana, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa kedua orangtua kami. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami diwaktu kecil

اللهم اغفر لنا ذنوبنا ولوا لدينا وارحمهما كما ربيانا صغارا

Di hari raya Fitri seperti ini, kita juga biasanya saling berkunjung dan bersalam-salaman dengan sanak saudara, handai tolan, tetangga, teman-teman dan rekan-rekan kita untuk saling memaafkan kesalahan dan melupakan segala ganjalan yang kemungkinan ada dalam hati. Kita rajut kembali tali persaudaraan yang pernah kusut diantara kita, kita bangun kembali keharmonisan yang pernah terusik diantara kita; kita pertebal kembali rasa kebersamaan yang pernah luntur diantara kita dengan mempererat Silaturrahim.

Silaturrahim bukan sekedar bersentuhan tangan atau memohon maaf semata. Tetapi ada sesuatu yang lebih hakiki dari itu semua, yaitu aspek mental dan keluasan hati sesuai dengan asal kata dari silaturrahim itu sendiri, yaitu shilat atau washl, yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahiim yang berarti kasih sayang.

Makna menyambungkan menunjukkan sebuah proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. Menghimpun mengandung makna sesuatu yang tercerai-berai dan berantakan menjadi bersatu dan utuh kembali.

Kalau orang lain mengunjungi kita dan kita balas mengunjunginya, ini tidak memerlukan kekuatan mental yang tinggi. Boleh jadi kita melakukannya karena merasa malu atau merasa berhutang budi kepadanya. Namun, bila ada orang yang tidak pernah bersilaturrahim kepada kita, lalu dengan sengaja kita mengunjunginya walaupun harus menempuh jarak yang sangat jauh dan melelahkan, memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit, baik waktu, tenaga dan materi, apalagi kalau kita bersilaturrahim kepada orang yang membenci kita, seseorang yang sangat menghindari pertemuan dengan kita, lalu kita mengupayakan diri untuk bertemu dengannya, maka inilah yang disebut silaturrahim yang sebenarnya.

Hidup kita tidak akan tenang kalau silaturrahim terputus, karena dengan terputusnya silaturrahim, di dalam hati seseorang akan tersimpan kebenciaan dan rasa permusuhan. Apabila dalam suatu lingkungan masyarakat ada beberapa orang yang sudah tidak saling tegur sapa, saling menjauhi, di belakang sudah saling menohok, menggunjing, dan memfitnah, maka rahmat Allah akan jauh.

Dalam skala yang lebih luas, dalam lingkup sebuah organisasi atau bahkan suatu negara, bila didalamnya sudah ada kelompok yang saling jegal, saling fitnah, atau saling menjatuhkan, maka dikhawatirkan bangsa dan negara akan hancur berantakan dan terputus dari rahmat serta pertolongan Allah SWT.

Silaturrahim adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dengan terhubung dan terpeliharanya silaturrahim, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Bagaimana pun besarnya umat Islam secara kuantitatif, sama sekali tidak akan ada artinya bila didalamnya tidak ada persatuan yang kokoh dan kerjasama satu sama lain untuk menyelesaikan permasalahan dan untuk taat berbakti kepada Allah.

Sebagai umat yang besar, kaum muslimin diharuskan ada yang terjun ke dunia dan bidang politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya, karena tanpa itu kita akan dipermainkan dan kepentingan kita tidak ternaungi secara legal didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, berbagai kelompok yang ada harus dijadikan sarana berkompetisi untuk mencapai satu tujuan mulia, tidak saling menghancurkan dan berperang, bahkan lebih senang berkoalisi dalam arti positif dengan pihak lain.

Sebagai umat yang taat, kita berkewajiban untuk mendukung segala kegiatan yang menyatukan langkah berbagai kelompok kaum muslimin dan mempererat tali persaudaraan diantara kita semua.

الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد

Hadirin Kaum Muslimin, Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Memaafkan orang lain yang telah berbuat sewenang-wenang terhadap kita merupakan suatu sikap yang paling mulia di dalam Islam. Sikap ini tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang bersih hatinya, dimana ia lebih menyukai kebaikan ketimbang membalas kejahatan orang lain. Dan lebih baik lagi dari ini adalah berbuat baik kepadanya setelah terlebih dahulu memaafkan kesalahannya.

Ketika usai perang Uhud, Rasulullah SAW. menemukan jenazah pamannya tercinta, Hamzah bin Abdul Muthalib sudah dalam keadaan rusak. Beliau pun menjadi sangat sedih hingga wajahnya tertunduk dan Rasulullah pun menjadi teramat sangat marah hingga ia mengeluarkan sebuah janji bahwa akan membalas menganiaya kaum Quraisy dengan cara yang belum pernah manusia lakukan, padahal Rasulullah SAW. begitu kuat menahan siksaan berbagai perlakuan tidak baik dari kaum Quraisy bahkan memaafkannya. Tapi Allah kemudian menurunkan firman-Nya :

واٍن عاقبتم فعاقبوا بمثل ماعوقبتم به ولئن صبرتم لهوخيرللصا برين

”Dan jika kamu melakukan pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, maka kesabaranmu itu lebih baik bagimu”.

وا صبروما صبرك اٍلا بالله ولا تحزن عليهم ولا تك في ضيق ممَا يمكرون

Dan hendaklah kamu tabahkan hatimu, dan hendaklah ketabahan hatimu itu karena berpegang kepada Allah. Jangan pula kamu bersedih hati terhadap perbuatan mereka. Jangan pula kamu bersesak dada terhadap apa yang mereka rencanakan”.

Nabi SAW. pun akhirnya mengumpulkan kaum Muslimin dan menyampaikan pidato yang berisi larangan melampiaskan amarah dan dendam dengan melakukan penganiayaan biadab terhadap mayat-mayat musuh.

Hadirin Kaum Muslimin, Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Dalam Islam, sikap menahan amarah mempunyai posisi dan peran yang sangat penting. Menahan amarah akan menjadikan seseorang sanggup menahan diri untuk tidak melakukan tindakan tercela dalam bentuk apapun. Menahan marah, memaafkan, dan berbuat baik adalah kesatuan nilai yang mendasari ketakwaan. Menahan marah saja tanpa memaafkan bukan ciri orang taqwa, tetapi ciri orang pendendam. Sikap menahan amarah merupakan salah satu karakteristik orang bertakwa yang dijanjikan oleh Allah SWT. sebagai penghuni syurga. Ini berarti bahwa ketakwaan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya menahan amarah yang dapat merugikan orang lain.

Orang yang mampu menahan amarah berarti ia telah mampu meleburkan dirinya ke dalam diri orang lain dan membuang jauh-jauh sifat egoisnya. Sejenak orang merasa lega setelah meluapkan amarahnya seperti halnya penderita sakit kepala yang minum obat analgesik, dan marah hanya dapat disembuhkan dengan memaafkan.

Dale Carnegie, seorang penulis populer, saat menawarkan kiat untuk menghilangkan rasa cemas Dia berkata : “Kita tidak cukup suci untuk mencintai musuh-musuh kita. Tapi, demi kesehatan dan kebahagiaan kita, lupakan mereka dan maafkan mereka !”

Memang sudah menjadi tabiat manusia, tatkala hatinya disakiti, dia akan merasa sakit hati dan boleh jadi berujung dengan kedendaman. Walaupun demikian, bukan berarti kita harus dendam setiap kali ada yang menyakiti; Malah sebaliknya, jika kita didzalimi, maka do’akanlah orang-orang yang mendzalimi itu agar bertaubat dan menjadi orang shaleh. Mampukah kita melakukannya ? Sebetulnya sederhana sekali tekniknya, yaitu dengan cara bertanya pada diri kita sendiri : apa sih yang paling diinginkan dari sikap orang lain pada diri kita ketika kita berbuat salah ?

Kita sangat berharap agar orang lain tidak murka kepada kita. Kita berharap agar orang lain bisa memberitahu kesalahan kita dengan cara bijaksana. Kita berharap agar orang lain bisa bersikap santun dalam menyikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak ingin orang lain marah besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum.

Kalaupun hukuman dijatuhkan, kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil dan penuh etika. Kita ingin diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, kita juga ingin disemangati agar bisa berubah. Kalau keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika orang lain berbuat salah, kita malah mencaci maki, menghina, memvonis, memarahi, bahkan tidak jarang kita mendzalimi ?

Nikmat Allah yang paling besar bagi manusia setelah iman dan Islam adalah nikmat dikaruniai-Nya maaf atau ampunan. Nikmat ini senantiasa diberikan Allah kepada setiap manusia, meski manusia terus menerus melakukan perbuatan dosa. Namun tentunya dengan sebuah catatan, bahwa manusia yang diberikan nikmat ini hanya manusia yang senantiasa menyadari setiap perbuatan dosanya, dan utuk itu dia memohon maaf kepada Allah SWT. Oleh karena itulah Allah kemudian memberi gelar diriNya Al-Afwu, Yang Maha Pemaaf. Firman Allah :

اٍن تبدوا خيرا اًوتخفوه اًوتعفوا عن سوء فاٍن الله كان عفوا قديرا

“JIka kamu menyatakan sesuatu kebaikan, menyembunyikan, atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa”.

Lebih banyak kata pemaaf yang Allah tujukan buat memperlihatkan kebesaran-Nya, namun demikian ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang menyeru kepada manusia untuk meniru salah satu sifat Allah tersebut.

خدالعفوواًمربالمعروف واًعرض عن الجاهلين

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”.

الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد

Hadirin Kaum Muslimin, Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Memaafkan tidaklah mudah. Kata para sufi, memaafkan harus dilatih terus menerus. Sifat pemaaf tumbuh karena kedewasaan ruhani. Ia merupakan hasil perjuangan berat ketika kita mengendalikan kekuatan di antara dua kekuatan, pengecut dan pemberang.

Sifat pemaaf menghiasi akhlak para nabi dan orang-orang shaleh. Ruhani mereka telah dipenuhi sifat Allah Yang Maha Pengampun (to err is human, but to forgive is divine). Maaf yang tulus lahir dari perkataan yang tulus kepada orang lain. Karena itu untuk bisa memaafkan, kita harus memusatkan perhatian kita kepada orang lain.

Kita harus beralih dari pusat ego kepada posisi orang lain. Dari egoisme kepada altruisme, yang dalam Al-Qur’an orang-orang altruis disebut sebagai orang-orang yang berbuat baik. Nabi Muhammad SAW. sangat terkenal sebagai pemaaf; Beliau menyerahkan sorbannya sebagai tanda maafnya kepada Wahsyi, yang telah membunuh pamanda tercinta, Hamzah.

Suatu ketika ‘Ali bin Husein sedang berwudhu, budaknya menjatuhkan wadah air ke atas kepalanya. Takut kalau sudah menyakiti tuannya, budak itu menggumamkan ayatوالكاظنين اليظ “Orang-orang yang mampu mengen-dalikan amarahnya………..” Ali berkata, “Aku tahan marahku”. Budak itu melanjutkan, والعا فين عن الناس“... Dan orang-orang yang memaafkan orang lain…….” Lalu Ali berkata, “Aku maafkan kamu.” ٍSelanjutnya budak itu menyelesaikan ayat seraya bergumam اٍن الله يحب المحسنين …. “Sesung-guhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. Ali pun berkata, “Aku merdekakan kamu”.

Menahan marah, memaafkan, dan berbuat baik harus dilakukan sekaligus. Allah menjelaskan bahwa ketiganya sebagai karakteristik orang taqwa sebagaiman dalam firman-Nya :

والذين اٍذا فعلوا فاحشة اًوظلموا اًنفسهم ذكرواالله فاستغفروا لذنوبهم ومن يغفرالذنوب اٍلا الله ولم يصروا على ما فعلوا وهم يعلمون

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui”.

Di akhir khutbah ini, Khatib mengajak untuk merenungkan nasihat Rasulullah SAW. kepada Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi sebagai berikut :

يا أبا هريرة عليك بحسن الخلق . قال أبوا هريرة رضي الله عنه وما حسن الخلق يا رسول الله ؟ قال : تصل من قطعك ، وتعفو عمن ظلمك ، وتعطي من حرمك .

Wahai Abu Hurairah, Engkau harus berakhlaq mulia ! Abu Hurairah bertanya, apakah yang dimaksud dengan akhlaq mulia itu wahai Rasul ? Nabipun menjawab : Engkau hubungkan silaturrahim dengan orang yang memutuskannya dari padamu, engkau ma’afkan orang yang berbuat zalim kepadamu, dan engkau beri sesuatu orang yang mengharamkanmu.

Semoga ibadah kita di bulan Ramadhan tahun ini diterima oleh Allah Rabbul ‘Alamin dan menjadi momentum bagi kita semua untuk bercermin diri, bermuhasabah atas perilaku kita terhadap saudara-saudara kita selama ini. Mudah-mudahan kita termasuk golongan orang-orang yang senantiasa terbuka hatinya untuk menjalin, memelihara dan mempererat tali silaturrahim, demi terwujudnya umat yang bersatu padu di bawah naungan rahmat dan maghfirah Allah SWT.

Ya Allah, baguskanlah perangai dan tingkah laku kami; Jauhkanlah kami dari perangai dan tingkah laku yang tercela. Amien ya Rabbal ‘Alamin.

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو السميع العليم ، أقول قولي هذا أستغفرالله العظيم لي ولكم ولسا ئرالمسلمين والمسلمات ، إنه جواد كريم رؤف رحيم

خطبة الثا نية

الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر، الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا ، لا إله إلا الله وحده ، صدق وعده ، ونصر عبده ، وأعز جنده ، وهزم الأحجاب وحده ، لا إله إلا الله والله اكبر الله اكبر و لله الحمد

الحمد لله رب العالمين حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه ، حمدا يوافي نعامه ويكا فئ مزيده ، يا ربنا لك الحمد ولك الشكر كما ينبغي لجلاله الكريم وعظيم سلطانه ، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محدا عبده ورسوله ، اللهم صل وسلم على رسوله الكريم سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه وأمته ، أما بعد : فيا عباد الله ، أوصيكم وإياي بتقوى الله وطاعته بامتثال أوامره واجتناب نواهيه .

Hadirin Kaum Muslimin, Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Tidak jarang meminta maaf lebih sulit daripada mema’afkan. Bagi sebagian orang, meminta ma’af dianggap sebuah perbuatan yang merendahkan harga dirinya. Tidak menyadari, bahwa meminta ma’af adalah usaha penghapusan kesalahan pada manusia dan pengampunan dosa pada Yang Maha Kuasa. Tentu kita tidak ingin menjadi hamba yang dijauhi manusia karena sifat kita yang kikir dalam mema’afkan dan jauh dari Allah karena tidak meminta ma’af atas kesalahan. Untuk itu, kita semua patut merenungkan dan sekaligus mengamalkan do’a meminta ma’af Ali bin Husein dalam munajatnya kepada Allah sebagai berikut :

Ä Ya Allah !

Ä Aku mohon ampun kepada-Mu;

Ä Dihadapanku ada orang yang didzalimi, Aku tidak menolongnya;

Ä Kepadaku ada orang yang berbuat baik, Aku tidak berterima kasih kepadanya;

Ä Orang bersalah meminta ma’af kepadaku, Aku tidak mema’afkannya;

Ä Orang susah memohon bantuan kepadaku, Aku tidak menghiraukannya;

Ä Ada orang yang kusakiti dan aku bersalah kepadanya, Aku tidak meminta ma’af;

Ä Ada hak orang mukmin dan muslim dalam diriku, Aku tidak memenuhinya;

Ä Tampak di depanku ‘aib seoran muslim, Aku tidak menutupinya;

Ä Dihadapkan kepadaku dosa, Aku tidak menghindarinya;

Ä Ilahi !

Ä Aku mohon ampun dari semua kejelekan itu dan yang sejenis dengan itu;

Ä Aku sungguh menyesal, biarlah itu menjadi peringatan agar aku tidak berbuat yang sama sesudahnya.

قال الله تعالى في القرآن الكريم ، أعوذ با الله من الشيطان الرجيم : إن الله وملائكته يصلون على النبي ، يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما . اللهم صل وسلم وبارك على محمد ، وعلى آل محمد ، كما صليت وسلمت وباركت على إبراهيم ، وعلى آل إبراهيم ، في العالمين إنك حميد مزيد .

اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات ، والمؤمنين والمؤمنات ، الأحياء منهم والأموات ، إنك سميع قريب مجيب دعوات ، يا قاضي الحاجات . اللهم أنت ربنا لا إله إلا أنت خلقتنا ونحن عبادك ونحن على عهدك ووعدك مااستطعنا ، نعوذ بك من شر ما صنعنا ، نبؤ لك بنعمتك علينا ، ونبؤ بذنوبنا ، فاغفر لنا فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت . ربنا اغفر لنا ذنوبنا ولوالدينا وارحمهما كما ربيانا صغارا . ربنا اغفر لنا ذنوبنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ، ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤف رحيم . اللهم ألف بين قلوبنا المؤمنين والمؤمنات ، وثبت أقدامنا على دينك وعلى طاعتك سبحانك إنا كنا من الظالمين . اللهم اجعلنا من الذين يفعلون ما أمرتنا به أن يوصل من الآرحام ، ومن الذين أصلحوا بين إخوتهم المؤمنين . اللهم أصلح لنا ديننا الذي هو عصمة أمرنا ، وأصلح لنا دنيانا التي فيها معاشنا ، وأصلح لنا آخرتنا التي إليها معادنا ، واجعل الحياة زيادة لنا في كل خير ، واجعل الموت راحة لنا من كل شر . ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار، سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين . والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته .

Baca selengkapnya!